JellyPages.com

Senin, 25 November 2013

Studi Kasus Perencanaan Sumber Daya Manusia



Kasus : Batam Kekurangan Tenaga Kerja
Berbagai macam perusahaan yang ada dibatam sampai saat ini masih kekurangan untuk mendapatkan tenaga kerja yang terampil, atau terdidik guna memenuhi kebutuhan perusahaan.
Hal ini bisa dilihat dari tahun 2009 yang dibutuhkan mencapai 5000 orang, tetapi hanya dapat terpenuhi 3000 orang saja, kata Wali Kota Batam Ahmad Dahan di Surakarta, Jum’at (18/6).
Wali Kota Batam Ahmad Dahlan, mengatakan hal ini sesuai penandatangan kerjasama dengan Pemerintah Kota Surakarta, dalam bidang ketenagakerjaan di Loji Gandrung, Solo.
Penandatangan kerjasama tersebut dilakukan antara Wali Kota Batam, Ahmad Dahan dan Wali Kota Solo, Joko Widodo. Melalui kerjasama tersebut diharapkan mampu mengatasi masalah pengangguran dan meningkatkan perekonomian dikedua daerah.
“Seperti di industri elektronik, kami membutuhkan tenaga kerja terlatih. Sebenarnya di Batam juga masih banyak pengangguran tetapi sebagian besar bukan merupakan tenaga kerja terampil yang siap kerja, sehingga tetap saja membuat Batam kekurangan tenaga kerja” katanya.
Waikota Surakarta Joko Widodo, mengatakan tenaga kerja terampil yang ada didaerahnya memiliki kesempatan yang sangat besar untuk mengisi kekurangan tenaga kerja terampil di Batam.
Apalagi melalui Solo Techo Park (STP), lembaga pelatihan tenaga kerja terampil dikota Solo ditargetkan mampu mencetak sebanyak 3000 sampai dengan 4000 orang tenaga kerja siap pakai yang terampil dan juga yang terdidik ditiap tahunnya.
“Ditambah lulusan SMK di Solo yang juga siap kerja bisa mengisi diperusahaan elektrronik di Batam. Kesepakatan ini akan segera ditindak lanjuti dan tahun depan harus sudah terlaksana.”
( Sumber : “Manajemen Sumber Daya Manusia”, Dr. Dewi Hanggraeni, SE,. MBA, halaman 50-51,  Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI)
Pembahasan dan Solusi Kasus :
- Memberikan pelatihan kerja kepada masyarakat Batam, supaya masyarakat Batam bisa menjadi sumber daya manusia yang terampil.
- Menjalin kerja sama dengan beberapa daerah yang memiliki tenaga kerja terampil.


Kasus : Bank Century di Indonesia
Contoh nyatanya adalah Bank Century di Indonesia. Bank yang berdiri pada 6 desember 2004 tersebut, pada akhirnya harus kolaps dan meninggalkan berbagai masalah yang sampai sekarang masih belum tuntas, bahkan masalah tersebut seakan-seakan berangsur menghilang. Tahun 1989 Bank ini dibuat oleh Robert Tantular dengan nama Bank Century Intervest Corporation (Bank CIC). Dari awal kemunculannya saja, bank ini sudah menimbulkan keraguan karena proses perencanaannya yang tidak optimal. Terbukti pada bulan Maret tahun 1999, Bank CIC melakukan penawaran umum terbatas atau biasa disebut rights issue pertama pada Maret 1999 kepada Bank Indonesia. Di bawah naungan Robert Tantular, Bank ini dinyatakan tidak lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Bank Indonesia. Lalu pada tahun 2002, auditor Bank Indonesia menemukan rasio modal Bank CIC minus 83,06% sehingga menyebabkan Bank tersebut kekurangan modal sebesar Rp. 2,67 Triliun. Bulan Maret 2003 Bank CIC melakukan penawaran umum terbatas yang ke-3, namun lagi-lagi gagal. Alasannya, karena pada tahun yang sama Bank CIC diketahui memiliki masalah yang terindikasikan dengan surat-surat berharga valuta asing sekitar Rp. 2 Triliun. Atas saran dari Bank Indonesia, akhirnya pada 22 Oktober 2004 Berdiri Bank Century dari merger Bank Danpac, Bank Pikko, dan Bank CIC dengan pengesahannya tanggal 6 Desember di tahun yang sama. Melalui bukti ini, cukup kiranya menjadikan Bank Century sebagai contoh dalam proses perencanaan yang kurang baik. Terlihat dari masalah minus modal sehingga menyebabkan Bank ini ditolak right issue_nya, seharusnya kalau memang perecanaannya itu baik, mestinya dari awal sudah tahu kalau modal yang ada masih belum cukup untuk membangun sebuah Bank. Ditambah kasus yang tidak kunjung selesai dan masih menimbulkan tanda tanya besar seputar pengeluaran dana talangan Rp 6,762 trilyun untuk membantu Bank Century dalam mengganti uang nasabahnya yang tidak bisa dikembalikan. Terkait masalah ini, penyebab utamanya adalah ketidaksinambungan proses pengelolaan dan pengendalian risiko likuiditas.

Pembahasan dan Solusi Kasus :
Seharusnya pelaksanaan pengelolaan dan pengendalian risiko likuiditas tersebut dilakukan secara sistematis. Artinya dilakukan secara teratur. Tujuan utama dari penerapan manajemen risiko likuiditas ini adalah memastikan tercukupinya dana harian baik dalam keadaaan normal maupun dalam keadaan krisis. Jika perencanaan manajemen risiko likuiditas yang dilakukan Bank Century (Bank CIC kala itu) baik, seyogyanya tidak akan ditemukan minus modal pada bank tersebut. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan, auditor Bank Indonesia justru menemukan minus tersebut. Hal ini tentu saja patut dipertanyakan keabsahannya, serta patut dikonfirmasi kebenaran pengecekan tersebut, apa benar terdapat minus modal jikalau perencanaan yang dilakukan Bank Century kala itu sudah baik. Tetapi, tentunya pihak Bank Indonesia tidak akan semudah itu memutuskan kalau tidak ada bukti-bukti yang relevan terkait Bank tersebut. Sasaran daripada manajemen risiko likuiditas itu sendiri adalah mengidentifikasi, mengukur, memantau, serta mengendalikan jalannya aktivitas kegiatan Bank.  Masih dalam masalah minus modal tadi, dibuat pengandaian saja bahwa pihak Bank Century telah melakukan kegiatan manajemen risiko likuiditas. Pertanyaannya, kenapa masih terdapat minus modal kalau memang sudah melakukan hal tersebut? Seburuk-buruknya penerapan manajemen risiko likuiditas, apabila dilakukan dengan benar maka dampak negatif (apabila ada) yang akan ditimbulkan tidak akan terlalu besar. Jawaban yang relevan dari pertanyaan tersebut adalah karena proses pengelolaan dan pengendalian risiko likuiditas tidak dilakukan secara sistematis dan not built control oleh setiap unit kerja. Artinya, tidak ada koordinasi yang baik antara pihak atasan dengan bawahan terkait dengan pengelolaan dan pengendalian risiko likuiditas yang telah diterapkan. Mungkin saja ada faktor lain yang mempengaruhi mengapa Bank Century kala itu mengalami minus modal. Bisa saja karena sebagian besar uangnya telah dicuri, atau faktor-faktor lain di luar perkiran manusia.  


Kasus : PERKEMBANGAN IPTEK
            Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia ini sangat luar biasa, antara lain di bidang pertanian, industri, kesehatan, kemiliteran, dan informasi. Jenis teknologi yang terakhir yang disebut dengan Tripple-T Revolution yang terdiri dari revolusi transportasi, telekomunikasi, dan turisme. Bentuk revolusi inilah yang merupakan pendukung utama terjadinya globalisasi ekonomi. Baik dalam skala besar maupun kecil revolusi tersebut akan mempengaruhi perkembangan ekonomi besar maupun ekonomi rakyat, seperti koperasi dan usaha kecil menengah yang bergerak di sektor agribisnis.
            Bentuk pengaruh dari Tripple-T Revolution antara lain:
1.      Melalui revolusi telekomunikasi yang inklusif terjadi revolusi informasi, maka informasi tentang pasar dan teknologi baru akan mudah di terima dengan cepat oleh semua pelaku ekonomi.
2.      Transfer teknologi dan antisipasi jenis komoditi apa saja yang layak dikembangkan juga bisa mendorong berkembangnya usaha ekonomi.
3.      Revolusi tersebut diharapkan dapat mewujudkan keterpaduan wilayah pedesaan dan perkotaan dalam pemasaran berbagai produk (barang dan jasa) yang dibutuhkan oleh masyarakat kedua wilayah tersebut secara lebih efisien.
Namun yang perlu diperhatikan oleh sektor agribisnis, terutama yang berskala kecil dan menengah dengan aset sumber daya yang sedemikian rupa, adalah jenis teknologi yang akan digunakan. Pemilihan teknologi memerlukan pertimbangan kemampuan dan kegunaannya. Jangan sampai teknologi maju yang digunakan justru akan dapat menimbulkan distorsi ekonomi dan sosial, bahkan merusak lingkungan. Faktor utama yang perlu di pertimbangkan adalah kemampuan tenaga kerja (sumber daya manusia) yang pada umumnya di sektor agribisnis berskala kecil relatif masih rendah, di samping itu harga teknologi yang tidak terjangkau.
     Misalnya, tanpa mengabaikan perkembangan iptek yang begitu cepat, dengan mempertimbangkan sumber daya manusia dan anggaran yang ada, maka teknologi yang digunakan hendaknya memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.       Dapat di operasionalkan dengan mudah, sekalipun oleh pengguna yang masih rendah taraf keterampilannya.
b.      Sarana dan prasarana pendukung teknologi dapat disediakan dengan mudah dengan harga yang terjangkau.
c.       Teknologi tertentu dapat dibuat dan diperbaiki di lokasi sendiri.
d.      Mampu menciptakan efek ganda pada beragam sektor usaha baru.
Sementara itu, kompetensi sumber daya manusia perlu di daya gunakan agar merekan mampu menciptakan bisnis nasional bahkan internasional yang mampu bersaing. Hal itu perlu diwujudkan secara gradual melalui pelatihan, pemagangan bisnis, dan aktif dalam lokakarya serta pertemuan-pertemuan bisnis dan iptek.
( Sumber : Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik, Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawiira, Ghalia Indonesia Anggota  IKAPI )
Pembahasan dan solusi Kasus
Masalah yang dihadapi:
- SDM masyarakat yang kurang terampil.
-Kendala financial yang dihadapi masyarakat.
Penyebab permasalahan:
- Rendahnya tingkat SDM yang dimiliki oleh masyakat dan kurangnya pelatihan tenaga kerja dari pemerintah.
Penyelesaian:
-pemerintah harus lebih fokus meningkatkan ketrampilan kerja masyarakat.
-memperkenalkan tekhnologi agribisnis sehingga masyarakat mampu bersaing dalam skala nasional dan internasional.
- Memberikan subsidi pada tekhnologi agribisnis sehingga masyarakat bisa meningkatkan produktifitasnya.

Senin, 14 Oktober 2013




TUGAS MATA KULIAH MANAJEMEN RESIKO
( PT. ASURANSI JIWASRAYA )
  


Disusun Oleh :

Matkul / Kelas        
        : Manajemen Resiko / B
Nama Kelompok             :
Mega Puspita                  ( 120810201104 )
Nurul Wahidatun Nisa    ( 120810201094 )
Risky Ari Kriswardani    ( 120810201038 )
Rangga Perdana Putra     ( 120810201090 )
Ilham Akbar Nugroho     ( 120810201164 )






PT. ASURANSI JIWASRAYA

Perusahaan ini berdiri dengan satu tujuan mulia, yaitu mendidik masyarakat merencanakan masa depan. Tanggal 31 Desember 1859 menjadi awal kiprah Jiwasraya di Indonesia yang lahir dengan nama Nederlandsche Indische Levenverzekering en Lijvrente Maatschappij (NILLMIJ). Dalam perjalanannya, perusahaan mengalami peleburan dengan sembilan perusahaan milik pemerintah kolonial Belanda lainnya dan satu perusahaan nasional. Pada tahun 1973 beralih menjadi perusahaan milik pemerintah Indonesia yang kini lebih dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Jaringan Pelayanan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) saat ini tersebar diseluruh Indonesia dan memiliki 1 kantor pusat yang berkedudukan di Jakarta; 17 kantor cabang ditingkat propinsi; 72 kantor perwakilan ditingkat propinsi maupun di daerah tingkat I; dan 388 kantor unit produksi di daerah tingkat II; Hal ini diupayakan untuk menciptakan pelayanan yang cepat dan tepat (just in time).
Saat ini PT Asuransi Jiwasraya (Persero) adalah satu-satunya perusahan asuransi jiwa milik negara, yang memberikan jaminan faedah: (i) Asuransi hari tua, (ii) Meninggal Dunia, (iii) Kesehatan dan Kecelakaan baik dalam bentuk pertanggungan perorangan (Individual Insurance) maupun pertanggungan kumpulan (Group Insurance).

Pemegang Saham
Pemilik atau pemegang saham tunggal PT Asuransi Jiwasraya (Persero) adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan perwakilan pemilik yang mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan final mengenai perusahaan, termasuk didalamnya mengenai: (i) Pengesahan Rencana Kerja (ii) Pengesahan Anggaran Perseroan.

Dasar Hukum
PT Asuransi Jiwasraya didirikan berdasarkan Akte notaries William Henry Herklos No. 185 tanggal 31 Desember 1859. NILLMIJ van 1859 tercatat dalam sejarah sebagai perusahaan asuransi jiwa yang pertama didirikan di Indonesia. Pada tahun 1957, dalam rangka Indonesianisasi perekonomian Indonesia, perusahaan-perusahaan asuransi jiwa milik Belanda yang ada di Negara ini dikenakan nasionalisasi. Pada tahun 1973 PT (Persero) Asuransi Jiwasraya yang merupakan peleburan dari sembilan perusahaan asuransi milik Belanda, ditambah dengan sebuah perusahaan nasional, berubah status dari perusahaan Negara menjadi perseroan terbatas (persero) melalui tahap peralihan sejak 8 Desember 1972 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1972. Perubahan itu berlaku pada tanggal 23 Maret 1973, berdasarkan akte Notaris Mohammad Ali No. 12 Tahun 1973. Berdasarkan akte notaries Imas Fatimah, SH tanggal 12 Mei 1998 No. 10 dan tanggal 8 September 1998 No.19, yang telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan keputusan Nomor. C2-16563HT.01.04.TH98 tanggal 2 Oktober 1998, singkatan nama perusahaan dirubah menjadi PT Asuransi Jiwasraya.

Mengapa Harus Memiliki Asuransi Jiwa

Mobil yang anda pakai setiap hari bisa saja kempes/bocor bannya dan rusak mesinnya. Begitupun rumah yang Anda tempati bisa bocor atapnya dan rusak bangunannya. Bagaimana dengan asset yang paling berharga di tubuh kita,untuk menghasilkan mobil dan rumah dll, Apakah sudah di lindungi? Asuransi tidak hanya melindungi kesehatan dan jiwa saja. Nilai uang pertanggungan Yang Sama dengan total asset yang anda miliki akan menjaga kebangkrutan jika terjadi resiko pada kehidupan datang. 
Di dalam Hidup ini sebenarnya ada 5 Resiko kehidupan sejak masa bekerja sampai pada pensiun yaitu
1. Sakit
2. Kecelakaan
3. Cacat
4. Meninggal
5. Tua
Benar tidak  semuanya butuh biaya jika Anda tertimpa salah satu resiko tersebut? Itulah sebabnya asuransi jiwa di butuhkan untuk melindungi Diri Kita.
Jika kita mengalami salah satu dari resiko kehidupan misalnya sakit, pasti kita tidak bisa bekerja dan menghasilkan uang. Apalagi kalau di rawat inap di Rumah Sakit akan membutuhkan biaya. Dengan mengikuti asuransi, kita akan melimpahkan beban biaya kepada Perusahaan asuransi. Tapi jika Kita tidak beli asuransi,  maka beban biaya tersebut pasti akan kita limpahkan kepada keluarga tercinta.
 

Fokus Risiko sebagai Penanggung

Risiko sebagai penanggung menjadi fokus keseharian karena fungsi perusahaan asuransi adalah menjamin risiko pihak lain. Risiko tersebut harus dikendalikan. Sebagaimana diketahui, kontrol risiko terdiri dari menghindari, meminimalisir, menahan dan memindahkan risiko.
Tiga cara kontrol risiko di atas bisa dilakukan sekaligus. Namun, menghindari risiko tidak mungkin dilakukan karena fungsi perusahaan asuransi justru menanggung risiko pihak lain.
Kontrol risiko ini dimulai dari proses underwriting (seleksi risiko) hingga pascapembayaran klaim. Perusahaan asuransi bisa mereduksi risiko dengan cara proses seleksi risiko yang lebih ketat (prudent underwriting). Perlu kebijakan underwriting dan underwriter yang mumpuni untuk melakukan proses ini.
Kebijakan underwriting ketat memang bagus, tetapi perusahaan asuransi tetap butuh premi. Kebijakan underwriting ketat dan target premi perlu titik ekuilibrium. Pemilihan underwriter bersertifikat adalah upaya real meminimalkan risiko.
Dalam proses underwriting inilah, pada ‘zaman dulu’ ditempatkan unit yang disebut unit manajemen risiko. Unit ini bertugas melakukan survey atas objek pertanggungan yang akan dijamin asuransinya. Dari hasil survey diketahui lebih pasti kondisi objek yang digunakan untuk menentukan kondisi pertanggungan asuransi bagaimana yang paling tepat. Di industri asuransi jiwa, tes kesehatan sebelum aplikasi diterima adalah salah satu jenis kontrol risiko.
Selanjutnya, sebelum perusahaan asuransi menjamin risiko, melakukan kalkulasi seberapa besar mampu menahan risiko. Jika dirasa risiko sangat besar, bahkan di luar kemampuan (retensi), maka perusahaan asuransi akan mereasuransikan (mengasuransikan kembali) kepada perusahaan reasuransi (reasuradur).
Perlunya back-up reasuransi ini dilakukan agar jika terjadi klaim, maka perusahaan asuransi masih sanggup membayarnya. Juga agar tidak sampai mengganggu likuiditas perusahaan. Ini adalah bentuk kontrol risiko dengan cara memindahkan sebagian risiko ke reasuradur (spreading of risks).
Ketika proses underwriting selesai dan perusahaan asuransi bersedia menjamin risiko pemegang polis (tertanggung), maka mulailah risiko sebagai penanggung berjalan. Kontrol risiko belum berhenti. Perusahaan asuransi tetap harus memantau apakah syarat-syarat & kondisi (terms & conditions) polis, khususnya berkenaan dengan janji (warranties) dipenuhi apa tidak oleh tertanggung.
Dampak risiko sebagai penanggung adalah ketika terjadi klaim. Namun, tidak berarti setelah terjadi klaim, proses manajemen risiko berhenti. Manajemen risiko harus tetap jalan melalui tiga jalan. Pertama, harus dilihat apakah perusahaan asuransi wajib membayar atau klaim ditolak karena tidak sesuai jaminan di polis.
Harus diketahui secara pasti apakah penyebab kerugian dijamin atau tidak di polis. Apakah tertanggung juga telah memenuhi kewajiban yang tercantum di polis? Jika setelah diteliti, tuntutan tidak claimable, maka perusahaan asuransi tidak wajib mengganti klaim.
Kedua, apabila perusahaan suransi wajib mengganti, maka harus dihitung berapa besar penggantian. Terlalu besar penggantian, pasti merugikan perusahaan asuransi. Jika terlalu kecil, maka yang dirugikan adalah pemegang polis. Perhitungan harus dilakukan secara teliti. Untuk di industri asuransi umum, aktifitas ini bisa dilakukan oleh loss adjuster yang bertindak independen.
Ketiga, pascapembayaran klaim, apabila kerugian yang diderita tertanggung disebabkan kesalahan pihak lain, perusahaan asuransi mempunyai hak menuntut (hak subrogasi) pihak lain tersebut untuk mengganti kerugian. Perusahaan asuransi bisa mendapatkan recovery sehingga mengurangi kerugan yang dideritanya.