JellyPages.com

Rabu, 03 Oktober 2012

makalah PAI tentang Hadits


 



MAKALAH HADITS
Diajukan untuk memenuhi mata kuliah Pendidikan Agama Islam














Oleh:

Nurul Wahidatun Nisa’
NIM 120810201094






JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS JEMBER
2012










BAB  1. PENDAHULUAN


Agama Islam mempunyai jalan atau aturan tertentu untuk mengatur kehidupan manusia. Jalan pengatur kehidupan itulah yang sering dinamakan orang sebagai Syariat Islam atau Hukum Islam. Segenap umat Islam dalam kehidupannya   didunia ini haruslah menyesuaikan dirinya dengan Syari’at Islam agar dia tidak salah melangkah atau bahkan tersesat.
              Di era globalisasi seperti ini kerap para pemuda pemudi mulai melupakan pelajaran-pelajaran agama atau bahkan menjauhinya, dengan alasan yang bermacam-macam, atau bahkan ada yang menganggap mempelajari ilmu agama sudah tidak jaman lagi. Untuk itu dimakalah ini di ulas sedikit-sedikit pengertian tentang apa saja sumber hukum Islam dan apa saja yang ada di dalamnya secara singkat untuk sekedar mengingatkan kembali pada kaum muda akan agamanya.
              Adapun sumber utama dari pada Syari’at Islam atau Hukum Islam itu ialah Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Kedua sumber ini tidak dapat kita pecah atau kita pisahkan, karena keduanya sangat erat kaitannya. Al-Qur’an sebagai panduan kita untuk menjalani hidup sebagai kumpulan sejarah, dan sebagai sarana belajar, dan tidak hanya itu didalam Al-Qur’an juga terdapat beribu ilmu pengetahuan, berbeda dengan hadits yang fungsinya sebagai penjelas, dari segala yang di dalam Al-Qur’an agar tidak ada yang menyalah artikan isi kandungannya.
              Dimakalah ini akan dijelaskan sedikit tentang Hadits, Sunnah, kedudukan Hadits, perbedaan Al-Qur’an dan Hadits, macam-macam tingkatan Hadits serta periwayat dan masalah tentang kitab Hadits.
             
             





BAB 2. HADITS


2.1    Hadits dan Sunnah
2.1.1   Pengertian Hadits
Secara lughawiyah kata hadits berasal dari derivasi kata
(حَدَثَ - يَحْدُثُ – حُدُؤْثٌ – حَدَاثَةٌ – حَادِثٌ – مَحْدَؤْثٌ) kata tersebut mempunyai beberapa arti, diantaranya:
-  Baru, kebalikan dari lama (qadim)
-  Dekat, belum lama terjadi
-  Khabar, berita, riwayat
Menurut istilah para ahli hadits (Muhadditsin) antara lain Al-Hafidh dalam Syarah Al-Bukhari menerangkan, bahwa hadits ialah perkataan-perkataan Nabi Muhammad SAW, perbuatan-perbuatan dan keadaan beliau.
Menurut istilah ahli ushul, hadits ialah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad SAW, yang bersangkutpaut dengan hukum.
Dari definisi tersebut di atas dapat diambil pengertian bahwa hadits memiliki kriteria sebagai berikut:
a.    Sesuatu yang disandarkan harus kepada Nabi Muhammad SAW. Artinya, segala sesuatu yang bukan disandarkan kepada Nabi Muhammad bukan hadits seperti sabda Nabi Daud, Ibrahim, Musa, Isa, dan lain-lain.
b.    Penyandaran sesuatu adalah setelah Nabi Muhammad diangkat oleh Allah SWT menjadi Nabi atau Rasul.
c.    Sesuatu yang disandarkan kepada nabi mencangkup perbuatan, perkataan, persetujuan, perangainya dan lain-lain.


2.1.2   Pengertian Sunnah
Dari segi bahasa, sunnah berarti jalan yang terbentang untuk dilalui, jalan yang baik atau tidak baik. Sunnah juga berarti adat kebiasaan atau tradisi atau ketetapan.
Seperti sabda Rasulullah yang artinya : “Barangsiapa mengadakan sunnah / jalan yang baik, maka baginya pahala atas jalan yang ditempuhnya ditambah pahala orang-orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa mengadakan sunnah / jalan yang buruk, maka atasnya dosa karena jalannya buruk yang ditempuhnya ditambah dosa orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”.
a.    Menurut sebagian ulama Muhadditsin, pengertian sunnah lebih luas dari hadits. Sunnah meliputi segala hal yang datang dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan dan taqrir, juga sifat-sifat dan perilaku atau perjalanan hidup beliau, sebelum atau sesudah diangkat menjadi nabi.
b.    Para ahli Ushul Fiqih berpendapat bahwa Sunnah menurut istilah ialah segala sesuatu dari Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan, atau taqrir yang mempunyai hubungan dengan hukum agama.
c.    Menurut ulama Fiqih, sunnah adalah segala perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dikerjakan tidak akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab).
d.   Menurut ulama mauidzah, Pengertian sunnah yaitu (مَا قَابَلَ الْبِدْعَةَ). Maksudnya, yaitu lawan kata dari bid’ah. Bid’ah itu sendiri menurut bahasa adalah al-amr al-mustahdas, artinya sesuatu yang baru. Artinya, mudahnya kita sering mendengarkan bahwa amalan ini tidak dicontohkan oleh Nabi (Bid’ah).

Agar tidak terjadi kerancuan pengertian hadits dan sunnah perlu ditegaskan perbedaannya. Hadits ialah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi SAW, walaupun selama hayat beliau hanya sekali terjadi, atau hanya diriwayatkan oleh seorang. Adapun sunnah adalah amaliah Nabi SAW yang mutawatir dan sampai kepada kita dengan cara mutawatir pula.Nabi melaksanakannya bersama para sahabat, lalu para sahabat melaksanakannya. Kemudian diteruskan oleh para tabi’in, walaupun lafaz penyampaiannya tidak mutawatir namun cara penyampaiannya mutawatir.
Mungkin terjadi perbedaan lafaz dalam meriwayatkan sesuatu kejadia, sehingga dalam segi sanad dia tidak mutawatir, akan tetapi dalam segi amaliahnya dia mutawatir. Proses yang mutawatir itulah yang disebut sunnah.


2.2 Kedudukan Hadits
Semua umat Islam telah sepakat dengan bulat bahwa Hadits Rasul adalah sumber dan dasar hukum Islam setelah Al-Qur’an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti dan mengamalkan hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al-Qur’an.
Al-Qur’an dan Hadits merupakan dua sumber hukum pokok syari’at Islam yang tetap dan orang Islam tidak akan mungkin bisa memahami syari’at Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang ulama’pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil salah satu dari keduanya.
Berikut merupakan beberapa uraian yang menjelaskan secara rinci tentang kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam dengan mengambil beberapa dalil, baik naqli maupun aqli:


2.2.1 Dalil Al-Qur’an
Banyak kita jumpai ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup sehari-hari. Diantara ayat yang dimaksud adalah QS. Al-Hasyr (59):7 yang artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.
Kemudian di ayat yang lain Allah juga berfirman di QS. Al-Nur (24):54 yang artinya: “Katakanlah: Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul SAW, dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul SAW  itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk”.
Dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas tergambar bahwa setiap ada perintah taat kepada Allah dalam Al-Qur’an selalu diikuti dengan perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikian pula mengenai peringatan (acaman) karena durhaka kepada Allah, sering disejajarkan atau disamakan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul Muhammad SAW.


2.2.2   Dalil Al-Hadits
Mari kita pahami dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda yang artinya: “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (HR Malik).  Dalam hadits lain Rasulullah bersabda : “Wajib bagi kamu berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa ar-Rasydin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kalian dengannya”. (HR. Abu Daud dan Ibn Majah).
Hadits-hadits tersebut diatas kita anggap cukup untuk menunjukkan bahwa berpegang teguh kepada hadits / menjadikan hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an.




2.2.3   Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Seluruh umat Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum Syari’at Islam yang wajib diikuti dan diamalkan karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum Syariat Islam.
Dan kesepakatan orang-orang Islam dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan semua ketentuan yang terkandung di dalam hadits ternyata sejak Rasulullah masih hidup. Sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafa’ Al Rasydin hingga masa-masa kekhalifahan Bani Umayah, Bani Abasyiyah hingga sekarang tidak ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.


2.2.4   Sesuai dengan Petunjuk Akal
Muhammad SAW, sebagai Nabi dan Rasul telah diakui dan dibenarkan oleh seluruh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Allah. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihat semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada dalil yang menghapusnya.
Dan apabila kerasulan Muhammad SAW telah diimani dan dibenarkan, maka konsekwensi logisnya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping itu secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya menaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.


2.3    Perbedaan Al-Qur’an dan Hadits
Al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman hidup, sumber hukum, dan ajaran dalam Islam. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Sedangkan hadits merupakan sumber ajaran kedua yang tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-Qur’an tersebut.
Al-Qur’an merupakan kitab Allah sebagai mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang termaktub dalam mushaf-mushaf yang disampaikan dengan jalan mutawatir yang bernilai ibadah dalam membacanya. Sedangkan Hadits ialah perkataan-perkataan yang disabdakan Nabi Muhammad SAW.
Sekalipun al-Qur'an dan as-Sunnah / al-Hadits sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain ialah :
a. Al-Qur'an nilai kebenarannya adalah qath'I ( absolut ), sedangkan al-Hadits adalah zhanni ( kecuali hadits mutawatir ).
b. Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Tetapi tidak semua hadits mesti  kita jadikan sebagai pedoman hidup. Sebab disamping ada sunnah yang tasyri' ada juga sunnah yang ghairu tasyri. Disamping ada hadits yang shahih adapula hadits yang dha’if dan seterusnya.
c. Al-Qur'an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya sedangkan hadits tidak.
d. Apabila Al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi tidak harus demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadits.


2.4 Tingkatan Hadits
Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak).


2.4.1 Hadits Yang Diterima (Maqbul)
Hadits yang diterima dibagi menjadi 2 (dua):
a.    Hadits Shahih
Definisi:
-       Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.
-       Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Al-Qur’an.
Tingkatan Hadits Shahih
1. Bila diriwayatkan dengan sanad-sanad dari “ashahhul asanid” (sanad paling shahih) seperti Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.
2.  Bila disepakati oleh Bukhari dan Muslim (muttafaq’alaih).
3.  Bila diriwayatkan oleh Bukhari saja.
4.  Bila diriwayatkan oleh Muslim saja.
5.  Bila sesuai syarat keduanya meskipun tidak diriwayatkan oleh keduanya.
6.  Bila sesuai syarat Bukhari saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya.
7.  Bila sesuai syarat Muslim saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya.
8. Apabila shahih menurut para ulama selain Bukhari dan Muslim (seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban), dan tidak sesuai syarat keduanya.


b. Hadits Hasan
Definisi:
Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkan secara istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:
-       Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.
-       At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadits hasan adalah hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan.
-       Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan adalah hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya.
Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba'i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi penduduk kalangan Makkah.
Jumhur ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya.
Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.



2.4.2 Hadits Mardud (Tertolak)
Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah.
Definisi Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan. Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum.


2.5 Sanad, Matan Hadits, dan Rawi
2.5.1 Pengertian Sanad
Dari segi bahasa sanad berarti : اَلْمُعْتَمَدُ artinya yang menjadi sandaran, tempat bersandar, arti yang lain sesuatu yang dapat dipegangi atau dipercaya. Dalam istilah ilmu hadits, sanad ialah rangkaian urutan orang-orang yang menjadi sandaran atau jalan yang menghubungkan satu hadits atau sunnah sampai pada nabi saw.


2.5.2   Pengertian Matan
Dari segi bahasa, matan berarti punggung jalan, tanah gersang atau tandus, membelah, mengeluarkan, mengikat. Matan menurut istilah ilmu hadits yaitu: perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.


2.5.3        Pengertian Rawi
Rawi ialah orang yang memindahkan hadits dari seorang guru kepada orang lain atau membukukannya ke dalam suatu kitab hadits. Rawi pertama adalah para sahabat dan rawi terakhir adalah orang yang membukukannya, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, dan lain-lain.
a.    Syarat-syarat Rawi
Syarat-syarat menjadi seorang perawi hadits yaitu:
1)   Harus adil
2)   Muslim
3)   Baligh
4)   Barakal
5)   Tidak pernah melakukan dosa besar
6)   Tidak sering melakukan dosa kecil
7)   Dabit,
Dabit memiliki dua pengertian yaitu:
a)    Dabit dalam arti kuat hafalan serta daya ingatnya dan bukan pelupa.
b)   Dabit dalam arti dapat memelihara kitab hadits dari gurunya sebaik-baiknya, sehingga tidak mungkin ada perubahan.
Berikut ini adalah daftar para sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, yaitu:
1)   Abu Hurairah, meriwayatkan 5.374 hadits
2)   Abdullah bin Uma, meriwayatkan 2.630 hadits.
3)   Anas bin Malik, meriwayatkan 2.286 hadits.
4)   Aisyah Ummul Mukminin, meriwayatkan 2.210 hadits.
5)   Abdullah bin Abbas, meriwayatkan 1.660 hadits.
6)   Jabir bin Abdullah, meriwayatkan 1.540 hadits.
7)   Abu Sa’id Alkhudri, meriwayatkan 1.170 hadits.


2.5.4   Sistem Para Penyusun Kitab Hadits Dalam Menyebutkan Nama Rawi
Suatu Hadits terkadang memiliki sanad banyak. Dengan kata lain, bahwa Hadits tersebut dalam dewan-dewan atau kitab-kitab hadits yang berbeda rawi (akhirnya). Misalnya ada sebuah hadits disamping terdapat dalam sahih Bukhari, juga terdapat dalam sahih Muslim, juga dalam sunah Abu Daud, Musnad Imam Ahmad dan lain-lain sebagainya. Untuk menghemat pencantuman nama-nama rawi yang banyak jumlahnya tersebut, penyusun Kitab Hadits, biasanya tidak mencantumkan nama-nama itu seluruhnya, melainkan hanya merumuskan dengan bilangan yang menunjukkan banyak atau sedikitnya rawi hadits pada akhir isi haditsnya. Misalnya rumusan yang diciptakan ileh Ibn Isma’il as-San’ani dalam kitab Subulus-Salam:
1.    اَخْرَجَهُ السَبْعَةُ  maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh tujuh orang rawi, yaitu Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, At-Turmudzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah.
2.    اَخْرَجَهُ السَتةُ  maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh enam orang rawi, yaitu tujuh orang rawi diatas selain Ahmad.
3.    اَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ  maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh lima orang rawi, yaitu tujuh orang rawi tersebut diatas, dikurangi Bukhari dan Muslim. Rumusan ini dapat diganti dengan istilah:
4.    اَخْرَجَهُ الَارَبْعَةُ ؤَ اَحْمَدُ  maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh para as-habus-sunan yang empat ditambah Imam Ahmad.
5.    اَخْرَجَهُ الَارْبَعَةُ  maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh as-habus-sunan yang empat, yaitu Abu Daud, At-Turmudzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah.
6.    اَخْرَجَهُ الثَلَاثَةُ  maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh tiga orang rawi, yakni Abu Dawud, At-Turmidzi, dan An-Nasai. Atau dapat juga dikatakan dengan hadits yang diriwayatkan oleh as-habus-sunnah, selain Ibnu Majah.
7.    اَخْرَجَهُ الشَيْخَانِ  maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh kedua Imam Hadits, yakni Bukhari dan Muslim.
8.    اَخْرَجَهُ الجَمْاعَةُ  maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh rawi-rawi Hadits yang banyak sekali jumlahnya.
Adapun rumusan yang dikemukakan oleh Mansyur ‘Ali Nasif dalam kitabnya At-Taju’I Jami’ili Usul, jus 1, halaman 1, sebagai berikut:
o  رَؤَاهُ الشيخانِ  maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
o  رَؤَاهُ الثَلَاثَةُ maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.
o  رَؤَاهُ الأَرْبَعَةُ maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh tiga orang rawi tersebut diatas, ditambah dengan At-Turmudzi.
o  رَؤَاهُ الخَمْسَةُ  maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh empat orang rawi diatas ditambah dengan An-Nasa’i.
o  رَؤَاهُ اصَحَابُ السَنَنِ maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh tiga orang pemilik kitab-kitab sunan, yakni Abu Dawud, At-Turmudzi, dan An-Nasa’i.
Lain daripada itu perlu diketahui bahwa Imam As-Syaukani dalam kitabnya Nailu’I Authar, jus 1, halaman 22 menggunakan rumusan yang berbeda dengan rumusan-rumusan tersebut diatas, misalnya:
متفق عليه   maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh  Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ahmad. Sedang kalau Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dirumuskan dengan
.اَحْرَجَهُ الْبُخَارِى ؤَ مُسْلِمٌ










DAFTAR BACAAN


-          Muzilanto, Khalishah, Husen, Mujahidin, Aminah, Subhan, Usman, Lubis, Tuanaya. 2009. Qur’an Hadits. Jakarta: Akik Pustaka
-          Naufal. 2009. Tingkatan Hadits Shahih dan Tingkatan Para Perawi. http://annaufal.wordpress.com/2009/04/11/tingkatan-hadits-shahih-dan-tingkatan-para-perawi/
-          Yogi. Klasifikasi Hadits berdasarkan pada Kuat Lemahnya Berita. http://indrayogi.multiply.com/reviews/item/170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar