MAKALAH HADITS
Diajukan untuk memenuhi mata kuliah Pendidikan Agama Islam
Oleh:
Nurul
Wahidatun Nisa’
NIM
120810201094
JURUSAN
MANAJEMEN
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
JEMBER
2012
BAB 1. PENDAHULUAN
Agama Islam mempunyai jalan atau
aturan tertentu untuk mengatur kehidupan manusia. Jalan pengatur kehidupan
itulah yang sering dinamakan orang sebagai Syariat Islam atau Hukum Islam. Segenap
umat Islam dalam kehidupannya didunia
ini haruslah menyesuaikan dirinya dengan Syari’at Islam agar dia tidak salah
melangkah atau bahkan tersesat.
Di
era globalisasi seperti ini kerap para pemuda pemudi mulai melupakan
pelajaran-pelajaran agama atau bahkan menjauhinya, dengan alasan yang
bermacam-macam, atau bahkan ada yang menganggap mempelajari ilmu agama sudah
tidak jaman lagi. Untuk itu dimakalah ini di ulas sedikit-sedikit pengertian
tentang apa saja sumber hukum Islam dan apa saja yang ada di dalamnya secara
singkat untuk sekedar mengingatkan kembali pada kaum muda akan agamanya.
Adapun
sumber utama dari pada Syari’at Islam atau Hukum Islam itu ialah Al-Qur’an dan Hadits
Nabi. Kedua sumber ini tidak dapat kita pecah atau kita pisahkan, karena
keduanya sangat erat kaitannya. Al-Qur’an sebagai panduan kita untuk menjalani
hidup sebagai kumpulan sejarah, dan sebagai sarana belajar, dan tidak hanya itu
didalam Al-Qur’an juga terdapat beribu ilmu pengetahuan, berbeda dengan hadits yang
fungsinya sebagai penjelas, dari segala yang di dalam Al-Qur’an agar tidak ada
yang menyalah artikan isi kandungannya.
Dimakalah
ini akan dijelaskan sedikit tentang Hadits, Sunnah, kedudukan Hadits, perbedaan
Al-Qur’an dan Hadits, macam-macam tingkatan Hadits serta periwayat dan masalah
tentang kitab Hadits.
BAB
2. HADITS
2.1
Hadits dan Sunnah
2.1.1
Pengertian
Hadits
Secara
lughawiyah kata hadits berasal dari derivasi kata
(حَدَثَ - يَحْدُثُ – حُدُؤْثٌ – حَدَاثَةٌ – حَادِثٌ – مَحْدَؤْثٌ)
kata tersebut mempunyai beberapa arti, diantaranya:
-
Baru,
kebalikan dari lama (qadim)
-
Dekat,
belum lama terjadi
-
Khabar,
berita, riwayat
Menurut istilah para ahli hadits (Muhadditsin) antara lain
Al-Hafidh dalam Syarah Al-Bukhari menerangkan, bahwa hadits ialah
perkataan-perkataan Nabi Muhammad SAW, perbuatan-perbuatan dan keadaan beliau.
Menurut istilah ahli ushul, hadits ialah segala perkataan,
perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad SAW, yang bersangkutpaut dengan hukum.
Dari definisi tersebut di atas dapat diambil pengertian bahwa
hadits memiliki kriteria sebagai berikut:
a.
Sesuatu
yang disandarkan harus kepada Nabi Muhammad SAW. Artinya, segala sesuatu yang
bukan disandarkan kepada Nabi Muhammad bukan hadits seperti sabda Nabi Daud,
Ibrahim, Musa, Isa, dan lain-lain.
b.
Penyandaran
sesuatu adalah setelah Nabi Muhammad diangkat oleh Allah SWT menjadi Nabi atau
Rasul.
c.
Sesuatu
yang disandarkan kepada nabi mencangkup perbuatan, perkataan, persetujuan,
perangainya dan lain-lain.
2.1.2
Pengertian
Sunnah
Dari segi
bahasa, sunnah berarti jalan yang terbentang untuk dilalui, jalan yang baik
atau tidak baik. Sunnah juga berarti adat kebiasaan atau tradisi atau ketetapan.
Seperti
sabda Rasulullah yang artinya : “Barangsiapa mengadakan sunnah / jalan yang
baik, maka baginya pahala atas jalan yang ditempuhnya ditambah pahala
orang-orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa mengadakan
sunnah / jalan yang buruk, maka atasnya dosa karena jalannya buruk yang
ditempuhnya ditambah dosa orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”.
a.
Menurut
sebagian ulama Muhadditsin, pengertian sunnah lebih luas dari hadits. Sunnah
meliputi segala hal yang datang dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan dan taqrir, juga sifat-sifat dan perilaku atau perjalanan hidup
beliau, sebelum atau sesudah diangkat menjadi nabi.
b.
Para
ahli Ushul Fiqih berpendapat bahwa Sunnah menurut istilah ialah segala sesuatu
dari Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan, atau taqrir yang mempunyai
hubungan dengan hukum agama.
c.
Menurut
ulama Fiqih, sunnah adalah segala perbuatan yang apabila dikerjakan akan
mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dikerjakan tidak akan dikenakan siksa,
dosa (‘iqab).
d.
Menurut
ulama mauidzah, Pengertian sunnah yaitu (مَا قَابَلَ الْبِدْعَةَ). Maksudnya, yaitu lawan kata dari bid’ah. Bid’ah itu sendiri
menurut bahasa adalah al-amr al-mustahdas, artinya sesuatu yang baru.
Artinya, mudahnya kita sering mendengarkan bahwa amalan ini tidak dicontohkan
oleh Nabi (Bid’ah).
Agar tidak terjadi kerancuan pengertian hadits dan sunnah perlu
ditegaskan perbedaannya. Hadits ialah segala peristiwa yang disandarkan kepada
Nabi SAW, walaupun selama hayat beliau hanya sekali terjadi, atau hanya
diriwayatkan oleh seorang. Adapun sunnah adalah amaliah Nabi SAW yang mutawatir
dan sampai kepada kita dengan cara mutawatir pula.Nabi melaksanakannya bersama
para sahabat, lalu para sahabat melaksanakannya. Kemudian diteruskan oleh para
tabi’in, walaupun lafaz penyampaiannya tidak mutawatir namun cara
penyampaiannya mutawatir.
Mungkin terjadi perbedaan lafaz dalam meriwayatkan sesuatu kejadia,
sehingga dalam segi sanad dia tidak mutawatir, akan tetapi dalam segi
amaliahnya dia mutawatir. Proses yang mutawatir itulah yang disebut sunnah.
2.2 Kedudukan Hadits
Semua umat
Islam telah sepakat dengan bulat bahwa Hadits Rasul adalah sumber dan dasar
hukum Islam setelah Al-Qur’an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti dan
mengamalkan hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al-Qur’an.
Al-Qur’an dan
Hadits merupakan dua sumber hukum pokok syari’at Islam yang tetap dan orang
Islam tidak akan mungkin bisa memahami syari’at Islam secara mendalam dan
lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan
seorang ulama’pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan mengambil
salah satu dari keduanya.
Berikut
merupakan beberapa uraian yang menjelaskan secara rinci tentang kedudukan
hadits sebagai sumber hukum Islam dengan mengambil beberapa dalil, baik naqli
maupun aqli:
2.2.1 Dalil Al-Qur’an
Banyak kita
jumpai ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kewajiban mempercayai dan
menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan
pedoman hidup sehari-hari. Diantara ayat yang dimaksud adalah QS. Al-Hasyr
(59):7 yang artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan
apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.
Kemudian di
ayat yang lain Allah juga berfirman di QS. Al-Nur (24):54 yang artinya:
“Katakanlah: Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul SAW, dan jika kamu
berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul SAW itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan
kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan
jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk”.
Dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas tergambar bahwa setiap ada
perintah taat kepada Allah dalam Al-Qur’an selalu diikuti dengan perintah taat
kepada Rasul-Nya. Demikian pula mengenai peringatan (acaman) karena durhaka
kepada Allah, sering disejajarkan atau disamakan dengan ancaman karena durhaka
kepada Rasul Muhammad SAW.
2.2.2
Dalil
Al-Hadits
Mari
kita pahami dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan kewajiban
menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur’an sebagai pedoman
utamanya, beliau bersabda yang artinya: “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu
sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh kepada
keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (HR Malik). Dalam hadits lain Rasulullah bersabda :
“Wajib bagi kamu berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa ar-Rasydin
(khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kalian dengannya”. (HR.
Abu Daud dan Ibn Majah).
Hadits-hadits tersebut diatas kita anggap cukup untuk menunjukkan
bahwa berpegang teguh kepada hadits / menjadikan hadits sebagai pegangan dan
pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada
Al-Qur’an.
2.2.3
Kesepakatan
Ulama (Ijma’)
Seluruh umat Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah
satu dasar hukum Syari’at Islam yang wajib diikuti dan diamalkan karena sesuai
dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadits sama
seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an, karena keduanya sama-sama
dijadikan sebagai sumber hukum Syariat Islam.
Dan kesepakatan
orang-orang Islam dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan semua ketentuan
yang terkandung di dalam hadits ternyata sejak Rasulullah masih hidup.
Sepeninggal beliau, semenjak masa Khulafa’ Al Rasydin hingga masa-masa
kekhalifahan Bani Umayah, Bani Abasyiyah hingga sekarang tidak ada yang
mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan
mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal, memelihara,
dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
2.2.4
Sesuai
dengan Petunjuk Akal
Muhammad SAW, sebagai Nabi dan Rasul telah diakui dan dibenarkan
oleh seluruh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau
hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT baik isi maupun
formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari
Allah. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihat semata-mata
mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing
oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada dalil yang
menghapusnya.
Dan apabila kerasulan Muhammad SAW telah diimani dan dibenarkan,
maka konsekwensi logisnya segala peraturan dan perundang-undangan serta
inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau hasil
ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping
itu secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan
umatnya menaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
2.3
Perbedaan Al-Qur’an dan Hadits
Al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman hidup, sumber hukum, dan
ajaran dalam Islam. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber
pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.
Sedangkan hadits merupakan sumber ajaran kedua yang tampil untuk menjelaskan
(bayan) keumuman isi Al-Qur’an tersebut.
Al-Qur’an merupakan kitab Allah sebagai mu’jizat yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang termaktub dalam mushaf-mushaf yang disampaikan
dengan jalan mutawatir yang bernilai ibadah dalam membacanya. Sedangkan Hadits
ialah perkataan-perkataan yang disabdakan Nabi Muhammad SAW.
Sekalipun
al-Qur'an dan as-Sunnah / al-Hadits sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun
diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil.
Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain ialah :
a. Al-Qur'an
nilai kebenarannya adalah qath'I ( absolut ), sedangkan al-Hadits adalah zhanni
( kecuali hadits mutawatir ).
b. Seluruh ayat
al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Tetapi tidak semua hadits
mesti kita jadikan sebagai pedoman hidup. Sebab disamping ada sunnah yang
tasyri' ada juga sunnah yang ghairu tasyri. Disamping ada hadits yang shahih
adapula hadits yang dha’if dan seterusnya.
c. Al-Qur'an
sudah pasti otentik lafazh dan maknanya sedangkan hadits tidak.
d. Apabila
Al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib,
maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi tidak harus demikian apabila
masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadits.
2.4 Tingkatan Hadits
Berdasarkan pada kuat lemahnya
hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima)
dan mardud (tertolak).
2.4.1 Hadits Yang Diterima (Maqbul)
Hadits yang diterima dibagi menjadi
2 (dua):
a. Hadits Shahih
Definisi:
-
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang
dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan)
oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak
ber’illat dan tidak janggal.
-
Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah
disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah hadits yang lafadznya
selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Al-Qur’an.
Tingkatan Hadits Shahih
1. Bila
diriwayatkan dengan sanad-sanad dari “ashahhul asanid” (sanad paling shahih)
seperti Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.
2. Bila disepakati oleh Bukhari dan Muslim (muttafaq’alaih).
3. Bila diriwayatkan oleh Bukhari saja.
4. Bila diriwayatkan oleh Muslim saja.
5. Bila sesuai syarat keduanya meskipun tidak diriwayatkan oleh keduanya.
6. Bila sesuai syarat Bukhari saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya.
7. Bila sesuai syarat Muslim saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya.
8. Apabila shahih menurut para ulama selain Bukhari dan Muslim (seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban), dan tidak sesuai syarat keduanya.
2. Bila disepakati oleh Bukhari dan Muslim (muttafaq’alaih).
3. Bila diriwayatkan oleh Bukhari saja.
4. Bila diriwayatkan oleh Muslim saja.
5. Bila sesuai syarat keduanya meskipun tidak diriwayatkan oleh keduanya.
6. Bila sesuai syarat Bukhari saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya.
7. Bila sesuai syarat Muslim saja meskipun tidak diriwayatkan olehnya.
8. Apabila shahih menurut para ulama selain Bukhari dan Muslim (seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban), dan tidak sesuai syarat keduanya.
b. Hadits Hasan
Definisi:
Secara bahasa, Hasan adalah sifat
yang bermakna indah. Sedangkan secara istilah, para ulama mempunyai pendapat
tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:
-
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan
tentang definisi hadits Hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh orang yang
adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung
sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang tidak
cacat dan tidak punya keganjilan.
-
At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian
hadits hasan adalah hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang
tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan.
-
Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan
adalah hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para
perawinya.
Yang
dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan
hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba'i dalam
kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi penduduk kalangan Makkah.
Jumhur
ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat
ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta
kejanggalan matannya.
Maka bisa
disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada
terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya
dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan)
yang sepadan maknanya.
2.4.2
Hadits Mardud (Tertolak)
Hadits yang tertolak adalah hadits
yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk
hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam
hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena
satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan
aqidah dan syariah.
Definisi Hadits Dhaif yaitu hadits
yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau
hadits Hasan. Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak
diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum.
2.5 Sanad, Matan Hadits, dan Rawi
2.5.1 Pengertian Sanad
Dari segi
bahasa sanad berarti : اَلْمُعْتَمَدُ artinya yang menjadi sandaran, tempat bersandar, arti yang lain
sesuatu yang dapat dipegangi atau dipercaya. Dalam istilah ilmu hadits, sanad
ialah rangkaian urutan orang-orang yang menjadi sandaran atau jalan yang
menghubungkan satu hadits atau sunnah sampai pada nabi saw.
2.5.2
Pengertian
Matan
Dari segi bahasa, matan berarti punggung jalan, tanah gersang atau
tandus, membelah, mengeluarkan, mengikat. Matan menurut istilah ilmu hadits
yaitu: perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang
disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.
2.5.3
Pengertian
Rawi
Rawi
ialah orang yang memindahkan hadits dari seorang guru kepada orang lain atau
membukukannya ke dalam suatu kitab hadits. Rawi pertama adalah para sahabat dan
rawi terakhir adalah orang yang membukukannya, seperti Imam Bukhari, Imam
Muslim, Imam Ahmad, dan lain-lain.
a.
Syarat-syarat
Rawi
Syarat-syarat
menjadi seorang perawi hadits yaitu:
1)
Harus
adil
2)
Muslim
3)
Baligh
4)
Barakal
5)
Tidak
pernah melakukan dosa besar
6)
Tidak
sering melakukan dosa kecil
7)
Dabit,
Dabit memiliki
dua pengertian yaitu:
a)
Dabit
dalam arti kuat hafalan serta daya ingatnya dan bukan pelupa.
b)
Dabit
dalam arti dapat memelihara kitab hadits dari gurunya sebaik-baiknya, sehingga
tidak mungkin ada perubahan.
Berikut
ini adalah daftar para sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, yaitu:
1)
Abu
Hurairah, meriwayatkan 5.374 hadits
2)
Abdullah
bin Uma, meriwayatkan 2.630 hadits.
3)
Anas
bin Malik, meriwayatkan 2.286 hadits.
4)
Aisyah
Ummul Mukminin, meriwayatkan 2.210 hadits.
5)
Abdullah
bin Abbas, meriwayatkan 1.660 hadits.
6)
Jabir
bin Abdullah, meriwayatkan 1.540 hadits.
7)
Abu
Sa’id Alkhudri, meriwayatkan 1.170 hadits.
2.5.4
Sistem
Para Penyusun Kitab Hadits Dalam Menyebutkan Nama Rawi
Suatu Hadits terkadang memiliki sanad banyak. Dengan kata lain,
bahwa Hadits tersebut dalam dewan-dewan atau kitab-kitab hadits yang berbeda
rawi (akhirnya). Misalnya ada sebuah hadits disamping terdapat dalam sahih
Bukhari, juga terdapat dalam sahih Muslim, juga dalam sunah Abu Daud, Musnad
Imam Ahmad dan lain-lain sebagainya. Untuk menghemat pencantuman nama-nama rawi
yang banyak jumlahnya tersebut, penyusun Kitab Hadits, biasanya tidak
mencantumkan nama-nama itu seluruhnya, melainkan hanya merumuskan dengan
bilangan yang menunjukkan banyak atau sedikitnya rawi hadits pada akhir isi
haditsnya. Misalnya rumusan yang diciptakan ileh Ibn Isma’il as-San’ani dalam
kitab Subulus-Salam:
1.
اَخْرَجَهُ السَبْعَةُ maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh tujuh
orang rawi, yaitu Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, At-Turmudzi,
An-Nasai, dan Ibnu Majah.
2.
اَخْرَجَهُ السَتةُ maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh enam
orang rawi, yaitu tujuh orang rawi diatas selain Ahmad.
3.
اَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh lima
orang rawi, yaitu tujuh orang rawi tersebut diatas, dikurangi Bukhari dan
Muslim. Rumusan ini dapat diganti dengan istilah:
4.
اَخْرَجَهُ الَارَبْعَةُ ؤَ اَحْمَدُ maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh para
as-habus-sunan yang empat ditambah Imam Ahmad.
5.
اَخْرَجَهُ الَارْبَعَةُ maksudnya: Hadits itu
diriwayatkan oleh as-habus-sunan yang empat, yaitu Abu Daud, At-Turmudzi,
An-Nasai, dan Ibnu Majah.
6.
اَخْرَجَهُ الثَلَاثَةُ maksudnya: Hadits itu
diriwayatkan oleh tiga orang rawi, yakni Abu Dawud, At-Turmidzi, dan An-Nasai.
Atau dapat juga dikatakan dengan hadits yang diriwayatkan oleh as-habus-sunnah,
selain Ibnu Majah.
7.
اَخْرَجَهُ الشَيْخَانِ maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh kedua Imam Hadits, yakni
Bukhari dan Muslim.
8.
اَخْرَجَهُ الجَمْاعَةُ maksudnya: Hadits itu
diriwayatkan oleh rawi-rawi Hadits yang banyak sekali jumlahnya.
Adapun
rumusan yang dikemukakan oleh Mansyur ‘Ali Nasif dalam kitabnya At-Taju’I
Jami’ili Usul, jus 1, halaman 1, sebagai berikut:
o
رَؤَاهُ الشيخانِ maksudnya: Hadits itu
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
o
رَؤَاهُ الثَلَاثَةُ maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu
Dawud.
o
رَؤَاهُ الأَرْبَعَةُ maksudnya: Hadits itu
diriwayatkan oleh tiga orang rawi tersebut diatas, ditambah dengan At-Turmudzi.
o
رَؤَاهُ الخَمْسَةُ maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh empat
orang rawi diatas ditambah dengan An-Nasa’i.
o
رَؤَاهُ اصَحَابُ السَنَنِ maksudnya: Hadits itu diriwayatkan oleh tiga orang pemilik
kitab-kitab sunan, yakni Abu Dawud, At-Turmudzi, dan An-Nasa’i.
Lain daripada
itu perlu diketahui bahwa Imam As-Syaukani dalam kitabnya Nailu’I Authar, jus
1, halaman 22 menggunakan rumusan yang berbeda dengan rumusan-rumusan tersebut
diatas, misalnya:
متفق عليه maksudnya:
Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ahmad.
Sedang kalau Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim,
dirumuskan dengan
.اَحْرَجَهُ الْبُخَارِى ؤَ مُسْلِمٌ
DAFTAR BACAAN
-
Muzilanto,
Khalishah, Husen, Mujahidin, Aminah, Subhan, Usman, Lubis, Tuanaya. 2009. Qur’an
Hadits. Jakarta: Akik Pustaka
-
Naufal.
2009. Tingkatan
Hadits Shahih dan Tingkatan Para Perawi. http://annaufal.wordpress.com/2009/04/11/tingkatan-hadits-shahih-dan-tingkatan-para-perawi/
-
Yogi.
Klasifikasi
Hadits berdasarkan pada Kuat Lemahnya Berita. http://indrayogi.multiply.com/reviews/item/170
Tidak ada komentar:
Posting Komentar